2 research outputs found

    Prototipe Sistem Penunjang Keputusan (decision support system) Perencanaan dan Pengendalian Produksi Sayuran Komersia

    Get PDF
    EMIL YAZID Z., 2001. Prototipe Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System) Perencanaan Dan Pengendalian Produksi Sayuran Komersial. Dibawah Bimbingan ARIF IMAM SUROSO dan KUDANG BORO SEMINAR. Situasi usaha tani sayuran saat ini banyak mengarah ke agribisnis. Ternyata berbisnis di bidang ini juga menguntungkan. Selain perputaran modalnya cepat, pasarnya pun banyak. Dalam usaha ini dibutuhkan pengetahuan tentang seluk beluk dunia bisnis. Dengan pengetahuan bisnis peluang usaha dapat dilihat secara cermat sehingga keuntungan yang diinginkan tercapai. Usaha di bidang sayuran komersial membutuhkan suatu manajemen yang sifatnya unik. Keunikan ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain produksi sayuran komersial cenderung dipengaruhi musim, komoditi sayuran komersial relatif mudah rusak, usianya pendek dan dalam pengusahaannya membutuhkan perawatan yang relatif intensif. Dalam bisnis sayuran komersial, manajemennya dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan menghasilkan dan mendistribusikan kepada pengusaha atau langsung ke konsumen dan memprosesnya lebih lanjut bila memungkinkan. Adanya pengambilan keputusan yang tepat yang dilakukan oleh pihak manajemen pengelola usaha agribisnis sayuran ini, yang didasarkan pada fakta-fakta, alternatif-alternatif yang dihadapi serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi adalah merupakan suatu kebutuhan. Pada sisi lain, pembuat keputusan seringkali dihadapkan pada kerumitan dan lingkup pengambilan keputusan dengan data-data yang sedemikian kompleks. Sistem penunjang keputusan membantu pengambil keputusan memilih berbagai alternatif keputusan yang merupakan hasil pengolahan informasi-informasi yang diperoleh atau tersedia dengan menggunakan model-model pengambilan keputusan. Permasalahan yang akan timbul setelah itu adalah (1) berapakah kapasitas produksi yang efisien, biaya produksi yang paling efisien serta keuntungan yang paling optimal dalam suatu agribisnis sayuran komersial. (2) bagaimana meminimalkan kerugian dari hal-hal yang tidak dikehendaki seminimal mungkin, seperti fluktuatifnya harga pasar.(3) bagaimana perencanaan dan pengendalian produksi sayuran komersial dapat mendukung keterjaminan kontinuitas supply kepada pasar. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan investigasi, analisa dan desain sistem pada SPK perencanaan dan pengendalian produksi berdasarkan berbagai faktor dan parameter yang berpengaruh terhadap perencanaan dan pengendalian produksi. (2) membangun prototipe sistem penunjang keputusan perencanaan dan pengendalian produksi sayuran komersial sehingga dapat dimungkinkan untuk membantu bagian perencanaan dan pengendalian produksi di suatu usaha agribisnis bagi pengembangan usahanya. Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan pengamatan di usaha agribisnis Gapoktan di daerah Goalpara, Sukabumi, Jawa Barat pada bulan Oktober 2000 hingga Februari 2001 dilakukan dengan metode deskriptif dengan studi kasus dan pembahasannya dilakukan dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif melalui pendekatan sistem dengan menggabungkan metode pengembangan sistem SDLC dengan metode pengembangan sistem prototyping. Pengumpulan data menggunakan data 3 komodti yaitu cabai rawit, sawi dan tomat yang merupakan komoditi sayuran yang dipilih berdasarkan umur relatif pendek, unsur rotasi tanaman, harga yang cenderung tidak fluktuatif, pemeliharaan tanaman yang relatif mudah, memiliki pasar yang cukup luas. Tahapan pengembangan sistem gabungan ini terdiri atas 3 tahapan yaitu (1) investigasi sistem (2) analisa dan desain sistem dan (3) pembuatan dan penguji cobaan sistem. Investigasi sistem menghasilkan suatu studi kelayakan sistem yang menunjukkan bahwa (1) dibutuhkannya suatu SPK terhadap perencanaan dan pengendalian produksi sayuran serta (2) dari aspek teknis dan dari aspek organisasinya telah memenuhi persyaratan kelayakan sehingga dimungkinkannya dilaksanakan analisa dan desain sistem. Analisa dan desain sistem menghasilkan (1) manajemen basis data yang digambarkan dalam diagram ER (Entity-Relationship) yang didukung sebuah kamus data dan (2) manajemen basis model yang dibagi atas 3 basis model yaitu model pemasaran, model produksi dan model keuangan. Dari 3 basis model tersebut dibagi lagi dalam sub-sub model lagi. Basis model pemasaran mempunyai 2 sub model yaitu sub model pemasaran dan sub model statistik. Basis model produksi mempunyai 2 sub model yaitu sub model produksi dan sub model optimalisasi. Sedangkan basis model keuangan mempunyai 2 sub model yaitu sub model rumus dan sub model analisa keuangan. Dalam pembuatan prototipe sebagai contoh aplikasi yang akan diterapkan, prototipe ini dibuat dalam bentuk pengolah data (misalnya seperti Microsoft Excel dari Microsoft Office atau Lotus for Windows dari Borland-Delphi) yang didukung dengan program time series forecasting (misalnya seperti Minitab, SPSS, atau SAS, dll) dan program optimalisasi Goal Programming (misalnya seperti Lindo for Windows, ABQM 3.0, atau QM for Windows, dll). Dalam pengujian prototipe ini, terdapat 2 skenario. Skenario pertama ialah kegiatan yang dimungkinkan dilakukan oleh pihak manajemen dalam merencanakan dan mengendalikan kegiatan produksi sayurannya yang berpatokan pada pengoptimalan keuntungan finansial dengan menggunakan asumsi harga jual komoditi terendah dari suatu periode waktu. Periode waktu untuk data harga penjualan yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara bulan Januari tahun 1998 hingga bulan Desember tahun 1999. Sedangkan skenario kedua dengan menggunakan asumsi harga jual dari output nilai peramalan yang menggunakan alat analisis perangkat lunak komputer dari suatu periode waktu yang sama dengan skenario pertama. Untuk menguji model prototipe ini dibuat sebuah contoh kasus sebagai berikut: (1) lahan yang tersedia berjumlah 1 Ha (10.000 M2) (2) investasi awal untuk usaha agribisnis tersebut sebesar 39.352.610 Rupiah (3) dana tersedia untuk produksi sejumlah 30.000.000 Rupiah (4) produk komoditi sayuran yaitu cabai rawit, sawi dan tomat (5) biaya modal sebesar 15,39 % dan pajaknya sebesar 20 %. Dari kondisi tersebut, maka dihasilkan 2 skenario hasil sebagai berikut: (1) Skenario pertama menunjukkan bahwa (a) komoditi yang ditanam adalah komoditi sawi dengan lahan terpakai 4.769,754 M2 (b) dana tersedia terpakai habis (c) tanaman yang dibudidayakan sebanyak 15.826 tanaman sawi selama 6 bulan yang terbagi dalam 8 kavling (d) pengiriman pasokan kepada konsumen untuk komoditi sawi sejumlah 2.571,73 Kg setiap 10 hari pengiriman (e) Payback Period bisa tercapai setelah 16,9 bulan penanaman terus menerus secara kontinyu. (2) Skenario kedua menunjukkan bahwa (a) komoditi yang ditanam adalah komoditi sawi dengan lahan terpakai 3.419,298 M2 dan komoditi tomat dengan lahan terpakai 3.361,437 M2 (b) dana tersedia terpakai habis (c) tanaman yang dibudidayakan sebanyak 11.345 tanaman sawi selama 6 bulan yang terbagi dalam 8 kavling dan 5.191 tanaman tomat selama 6 bulan yang terbagi dalam 8 kavling (d) pengiriman pasokan kepada konsumen untuk komoditi sawi sejumlah 1.843,6 Kg setiap 10 hari pengiriman dan pengiriman pasokan kepada konsumen untuk komoditi tomat sejumlah 524,91 Kg setiap 7 hari pengiriman (e) Payback Period bisa tercapai setelah 4,9 bulan penanaman terus menerus secara kontinyu. Usaha agibisnis on-farm selama ini seringkali mengalami kerugian disebabkan beberapa kendala baik faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor internal. Faktor-faktor eksternal umumnya adalah karena (1) rantai distribusi yang terlalu panjang (2) harga jual komoditi yang berfluktuatif di harga yang tidak menguntungkan (3) keadaan lingkungan cuaca yang berubah-ubah dalam waktu singkat. (4) mahalnya harga-harga kebutuhan sarana produksi pertanian yang menyebakan tingginya biaya produksi, sedangkan untuk faktor-faktor internal adalah seperti (1) kurangnya dedikasi karyawan atau tenaga kerja terhadap pekerjaan yang dilakonkannya (2) perencanaan produksi baik pada saat proses tersebut berlangsung serta pada saat proses tersebut telah selesai atau biasa dikenal dengan istilah kegiatan pasca panen. Dalam model SPK perencanaan dan pengendalian produksi sayuran komersial ini, permasalahan yang disebutkan diatas baik dari kendala eksternal maupun dari kendala internal, tidak semuanya dapat dikaji dalam SPK ini, tetapi dari beberapa kendala yang disebutkan diatas, hanya satu kendala internal yang belum dikaji yaitu faktor tenaga kerja, walaupun kendala ini tidak kalah besar pengaruhnya dengan kendala-kendala lainnya. Hasil yang ditunjukkan oleh model prototipe SPK ini untuk pengambilan keputusan seorang pengusaha atau manajer usaha agribisnis sayuran, sudah cukup memadai. Memadai disini berarti bahwa dengan analisa-analisa keuangan yang tersedia seperti BEP, ROI, B/C Ratio, IRR, NPV dan MIRR dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dari investasi di usaha agribisnis tersebut. Walaupun SPK bertujuan untuk membantu manajer untuk mengambil keputusan, keputusan yang diambil oleh manajer dapat dikatakan cukup memadai dengan hasil dari analisa-analisa keuangan seperti disebutkan tadi. Prototipe SPK harus dibuat dalam format yang lebih baku dikarenakan salah satu syarat SPK adalah mudah digunakan atau interaktif dengan pemakai atau pengguna prototipe ini

    Mortality from gastrointestinal congenital anomalies at 264 hospitals in 74 low-income, middle-income, and high-income countries: a multicentre, international, prospective cohort study

    Get PDF
    Summary Background Congenital anomalies are the fifth leading cause of mortality in children younger than 5 years globally. Many gastrointestinal congenital anomalies are fatal without timely access to neonatal surgical care, but few studies have been done on these conditions in low-income and middle-income countries (LMICs). We compared outcomes of the seven most common gastrointestinal congenital anomalies in low-income, middle-income, and high-income countries globally, and identified factors associated with mortality. Methods We did a multicentre, international prospective cohort study of patients younger than 16 years, presenting to hospital for the first time with oesophageal atresia, congenital diaphragmatic hernia, intestinal atresia, gastroschisis, exomphalos, anorectal malformation, and Hirschsprung’s disease. Recruitment was of consecutive patients for a minimum of 1 month between October, 2018, and April, 2019. We collected data on patient demographics, clinical status, interventions, and outcomes using the REDCap platform. Patients were followed up for 30 days after primary intervention, or 30 days after admission if they did not receive an intervention. The primary outcome was all-cause, in-hospital mortality for all conditions combined and each condition individually, stratified by country income status. We did a complete case analysis. Findings We included 3849 patients with 3975 study conditions (560 with oesophageal atresia, 448 with congenital diaphragmatic hernia, 681 with intestinal atresia, 453 with gastroschisis, 325 with exomphalos, 991 with anorectal malformation, and 517 with Hirschsprung’s disease) from 264 hospitals (89 in high-income countries, 166 in middleincome countries, and nine in low-income countries) in 74 countries. Of the 3849 patients, 2231 (58·0%) were male. Median gestational age at birth was 38 weeks (IQR 36–39) and median bodyweight at presentation was 2·8 kg (2·3–3·3). Mortality among all patients was 37 (39·8%) of 93 in low-income countries, 583 (20·4%) of 2860 in middle-income countries, and 50 (5·6%) of 896 in high-income countries (p<0·0001 between all country income groups). Gastroschisis had the greatest difference in mortality between country income strata (nine [90·0%] of ten in lowincome countries, 97 [31·9%] of 304 in middle-income countries, and two [1·4%] of 139 in high-income countries; p≤0·0001 between all country income groups). Factors significantly associated with higher mortality for all patients combined included country income status (low-income vs high-income countries, risk ratio 2·78 [95% CI 1·88–4·11], p<0·0001; middle-income vs high-income countries, 2·11 [1·59–2·79], p<0·0001), sepsis at presentation (1·20 [1·04–1·40], p=0·016), higher American Society of Anesthesiologists (ASA) score at primary intervention (ASA 4–5 vs ASA 1–2, 1·82 [1·40–2·35], p<0·0001; ASA 3 vs ASA 1–2, 1·58, [1·30–1·92], p<0·0001]), surgical safety checklist not used (1·39 [1·02–1·90], p=0·035), and ventilation or parenteral nutrition unavailable when needed (ventilation 1·96, [1·41–2·71], p=0·0001; parenteral nutrition 1·35, [1·05–1·74], p=0·018). Administration of parenteral nutrition (0·61, [0·47–0·79], p=0·0002) and use of a peripherally inserted central catheter (0·65 [0·50–0·86], p=0·0024) or percutaneous central line (0·69 [0·48–1·00], p=0·049) were associated with lower mortality. Interpretation Unacceptable differences in mortality exist for gastrointestinal congenital anomalies between lowincome, middle-income, and high-income countries. Improving access to quality neonatal surgical care in LMICs will be vital to achieve Sustainable Development Goal 3.2 of ending preventable deaths in neonates and children younger than 5 years by 2030
    corecore